UNDANGAN KHUSUS AKSI HARI ANTI KORUPSI SEDUNIA

UNDANGAN KHUSUS AKSI HARI ANTI KORUPSI SEDUNIA

Artikel: Akar Radikalisme Islam

Selasa, September 01, 2009

oleh Muhammad Ichsan SE
(Pemerhati Dunia Islam dan Manager Alumni PPSDMS NF)

Ilmu Pengetahuan – apalagi sosial- , termasuk sejarah, tidak dapat lepas dari bias subjektivitas dimana kecenderungan dan latar belakang penulis sangat memainkan peranan vital. Karena penulisan sejarah banyak diarahkan oleh penulisnya maka sangat sulit dicapai karya yang memiliki “objektifitas” tinggi. Mungkin berangkat dari pemikiran ini James Joyce (Dalam Buku Ulysses, James) , penulis kenamaan abad 20, tidak saja meragukan objektifitas penulisan sejarah bahkan menamakannya mimpi buruk (nightmare). Dari kenyataan ini pula kita lalu sering mendengar ungkapan bahwa sejarah tidak lain hanyalah cerita-cerita kelompok pemenang (Stories of the victorious).

Contoh lain adalah bagaimana seorang pemikir semisal Robert Mitchel yang berbeda 180 derajat dengan para para pemikir dan penulis Ikhwan dalam menuliskan sejarah A-Ikhwan Al-Muslimun maupun tokoh sentralnya Hasan Al Banna.

Di Indonesia sendiri, masuknya Islam ke Indonesia digambarkan oleh Van Den Berg sebagai konsekwensi dari kedatangan orang-orang Arab dari Hadramaut (Yaman) ke Indonesia yang motif utamanya adalah pencarian harta semata. Pandangan ini dibantah habis-habisan oleh Alwi Shihab dengan menyatakan bahwa Van Den Berg kurang/tidak memahami sosiocultural Islam dan cenderung menyamakannya dengan Kristen (Alwi Shihab, Di Balik Radikalisme Islam, Swaramuslim.net, Januari 2003).

Clash of Civilization: Konflik Abadi?
Era 90 – an seorang Ilmuwan Politik bernama Samuel P. Huntington memperkenalkan sebuah thesis Clash of Civilizations atau benturan peradaban, yang kurang lebih menyatakan bahwa Budaya dan identitas keagamaan (ideologi) menjadi sumber utama konfik paska perang dingin.

Thesis yang awalnya diformulasikan pada 1992 sebagai respon atas thesis End of History yang diungkapkan oleh Francis Fukuyama, belakangan menjadi sebuah buku yang diberi judul Clash of Civilizations and the Remaking of World Order (1996). Yang menjadi perhatian kita sebenarnya adalah titik tekan dari Clash of Civilizations terhadap Barat (Kristen) dan Timur (Islam) sebagai sumber konflik abadi, dengan mengabaikan ideology atau isme-isme lain yang dipandang sebagai bersifat sementara sebagai sebuah sumber konflik.

Arti Radikalisme
Radikalisme dalam beragama sendiri bukanlah hal yang khas milik pemeluk agama Islam. Kita dengan sangat mudah akan mendapatinya juga pada pemeluk-pemeluk agama lain semisal Kristen ataupun Yahudi. Namun kita akan membatasi pada radikalisme Islam saja.

Kata Radikal sering kali diartikan sebagai berpihak , condong ,mendukung ke suatu ide pemikiran, kelompok, atau ajaran agama secara penuh dan bersungguh-sungguh serta terfokus kepada suatu tujuan serta bersifat aktif dan reaktif.
Jadi sebagai contoh , jika kita menemukan kata "Islam Radikal", maka itu berarti seseorang yang benar-benar dengan sepenuh hati dan tenaga serta pikiran yang mendukung, berpihak, atau menjadi ekstrim kepada ajaran Agama Islam, lebih daripada orang-orang Islam pada umumnya.

Secara harfiah, radikalime atau fundamentalisme tidak memiliki sesuatu yang negative. Namun secara etimologi, radikalisme dan fundamentalisme telah mengalami penyempitan makna yang berkonotasi negative (peyorasi).

Berbeda dengan teroris yang memiliki dua sifat (a) terror for production of fear, yang bersifat murni dan dirancang untuk menimbulkan rasa takut, dan(b) terror by siege, yang bersifat kontra-teror, dengan sengaja menciptakan suasana mencekam untuk menimbulkan situasi berjaga-jaga (Koentjoro, Psikologi politik: Materikuliah mahasiswa program S1 psikologi Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. 2002).

Kaum Khawarij: cikal bakal kaum ekstrem dalam beragama
Rasulullah SAW pernah mengingatkan akan munculnya kaum yang ekstrem dalam beragama pada suatu masa. Keadaan seperti ini tampak dengan jelas pada sebagian kelompok kaum Muslimin, yang tidak kurang kadar ketaqwaan, keikhlasan, dan semangatnya; tetapi mereka tidak mempunyai ilmu pengetahuan, pemahaman terhadap tujuan ajaran agama, dan hakikat agama itu sendiri.

Mereka, kaum Khawarij ini, merupakan kelanjutan dari orang-orang yang pernah menentang pembagian harta yang pernah dilakukan oleh Rasulullah saw, yang berkata kepada beliau dengan kasar dan penuh kebodohan: "Berbuat adillah engkau ini!" Maka beliau bersabda, "Celaka engkau! Siapa lagi yang adil, apabila aku tidak bertindak adil. Kalau aku tidak adil, maka engkau akan sia-sia dan merugi. " (Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqh Prioritas (terjemahan), Rabbani Press, 2002)

Dalam sebuah riwayat disebutkan, "Sesungguhnya perkataan kasar yang disampaikan kepada Rasulullah saw ialah 'Wahai Rasulullah, bertaqwalah engkau kepada Allah." Maka Rasulullah saw menyergah ucapan itu sambil berkata, "Bukankah aku penghuni bumi yang paling bertaqwa kepada Allah?"

Ketika sebagian sahabat memohon izin kepada Rasulullah saw untuk membunuh para pembangkang itu, beliau yang mulia melarangnya; kemudian memperingatkan mereka tentang munculnya kelompok orang seperti itu dengan bersabda:
"Kalian akan meremehkan (kuantitas) shalat kalian dibandingkan dengan shalat yang mereka lakukan, meremehkan (kuantitas ) puasa kalian dibandingkan dengan puasa yang mereka lakukan; dan kalian akan meremehkan (kuantitas) amal kalian dibandingkan dengan amal mereka. Mereka membaca al-Qur'an tetapi tidak lebih dari kerongkongan mereka. Mereka menyimpang dari agama (ad-Din) bagaikan anak panah yang terlepas dari busurnya."

Kesalahan fatal yang dilakukan oleh mereka bukanlah terletak pada perasaan dan niat mereka, tetapi lebih berada pada akal pikiran dan pemahaman mereka.
Dalam riwayat lain Anas r.a. berkata, "Ada tiga orang yang mendatangi rumah tiga orang istri Nabi saw menanyakan ibadahyang dilakukan oleh Nabi saw. Ketika mereka diberitahukan mengenai hal itu, seakan-akan mereka menganggap sedikit apa yang telah mereka lakukan, sambil berkata, 'Di mana posisi kita dari Nabi saw, padahal beliau telah diampuni dosa-dosanya yang terdahulu dan yang akan datang?' Salah seorang di antara mereka juga berkata, 'Oleh karena itu saya akan melakukan shalat malam selamanya.' Orang yang kedua pun berkata, 'Aku akan berpuasa selamanya dan tidak akan meninggalkannya.' Orang yang ketiga berkata, 'Sedangkan aku akan mengucilkan diri dari wanita dan tidak akan kawin selama-lamanya.' Kemudian Rasulullah saw datang kepada mereka sambil berkata, 'Kamu semua telah mengatakan begini dan begitu. Demi Allah, aku adalah orang yang paling takut kepada Allah dan paling bertakwa kepada-Nya, akan tetapi aku berpuasa dan berbuka, aku shalat dan aku juga tidur, aku mengawini perempuan. Maka barangsiapa yang tidak suka dengan sunnahkuu, maka dia tidak termasuk golonganku." ( Hadits Muttafaq ‘Alaih)

Ini membuktikan bahwa ekstrimitas yang pada gilirannya memicu radikalisme dalam beragama memang dapat disandarkan pada pemahaman seseorang terhadap agamaannya atau teks-teks keagamannya. Pola beragama model kaum khawarij di atas terus hidup dan bermetamorfosis dari zaman ke zaman.

Dewasa ini banyak kalangan mengatakan bahwa metamorphosis pola keberagamaan semacam ini mewujud pada gerakan wahabi dangan mengacu kepada tokoh sentralnya Muhammad Bin Abdul wahab yang menitikberatkan ajarannya pada pemurnian aqidah dan tauhid serta memerangin bid’ah dan khurafat.

Selain masalah pemahaman, karakter radikal dalam beragama dapat dibentuk oleh keadaan sekitar. Stigma-stigma negative semisal ekstrimis, fundamentalis, bahkan teroris yang disematkan kepada agama Islam. Tindakan-tindakan represif, perlakuan tidak adil terhadap agama Islam, perasaan tertindas, atau ketidakpuasan terhadap kebijakan rejim yang berkuasa adalah bentuk lain penyebab timbulnya radikalisme dalam Islam.
Perjuangan Husain Bin Ali r.a melawan kesewenang-wenangan Yazid bin Mu’awiyyah, yang berakhir pada pembunuhan besar-besaran keluarga Ahlul Bayt adalah sebuah contoh bagaimana kondisi eksternal dapat memicu radikalisme dalam berbagai bentuknya. Contoh lain adalah bagaimana Zayd bin Ali Zayn Al ‘Abidin yang juga keturunan Ahlul Bayt melakukan perlawanan yang luar biasa, manakala mendapati rejim yang berkuasa berlaku tiran, represif, bahkan mewajibkan setiap khotib yang khutbah untuk menghina keluarga Ali Bin Abi thalib dan keturunannya dalam setiap khutbah Jum’at. Perlawanan yang juga berakhir sama seperti kakek buyutnya dengan meninggalnya Zayd bin Ali Zayn Al ‘Abidin.

Dari sini, dapatlah kita membayangkan bagaimana jadinya jika dua penyebab radikalisme ini menyatu pada diri satu orang, kelompok, golongan, atau negara.

Radikalisme Islam di Indonesia
Di Indonesia sendiri, perlawanan terhadap pemerintah pernah terjadi dalam skala yang sangat massiv melalui DI/TII. Pemberontakan DI/TII yang dipimpin oleh Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo (S. M. Kartosuwirjo) terjadi terutama di Jawa Barat dan bagian barat Jawa Tengah, kemudian ditindaklanjuti oleh Daud Beureuh di Aceh. Pada masa pergerakan nasional, Kartosuwirjo merupakan tokoh pergerakan Islam Indonesia yang cukup disegani. Selama pendudukan Jepang, Kartosuwirjo menjadi anggota Masyumi. Bahkan, ia terpilih sebagai Komisaris Jawa Barat merangkap Sekretaris I. Dalam kehidupannya, Kartosuwirjo mempunyai cita - cita untuk mendirikan Negara Islam Indonesia.

Pemerintah RI berusaha menyelesaikan persoalan ini dengan cara damai melalui pembentukan sebuah komite yang dipimpin oleh M. Natsir (Ketua Masyumi). Namun, komite ini tidak berhasil merangkul kembali Kartosuwirjo ke pangkuan RI. Oleh karena itu, pada 27 Agustus 1949, pemerintah secara resmi melakukan operasi penumpasan gerombolan DI/TII yang disebut dengan Operasi Baratayudha. Dalam perkembangannya, DI menyebar hingga di beberapa wilayah, terutama Jawa Barat (berikut dengan daerah yang berbatasan di Jawa Tengah), Sulawesi Selatan dan Aceh. Setelah Kartosoewirjo ditangkap TNI dan dieksekusi pada 1962, gerakan ini menjadi terpecah, namun tetap eksis secara diam-diam meskipun dianggap sebagai organisasi ilegal oleh pemerintah Indonesia. (http://id.wikipedia.org/wiki/Negara_Islam_Indonesia)

Mungkin, ini juga yang menjadi pemicu dibubarkannya Masyumi oleh Rejim Orde Lama melalui Keppres Nomor 200/1960 tanggal 15 Agustus 1960 yang diikuti dengan penangkapan tokoh-tokoh Masyumi yang masih aktif terlibat politik seperti Prawoto, Mohamad Roem, Yunan Nasution, Isa Anshary, Kasman Singodimedjo, Buya Hamka dan yang lain ditangkap tanpa alasan yang jelas.

Paska runtuhnya kekhalifahan Turki Utsmani tahun 1924, ummat Islam bagai anak ayam yang kehilangan induknya. Penjajahan dan kolonialisme Negara-negara Eropa dan Amerika yang notabene Kristen terhadap Negara-negara yang Timur Tengah, Asia, dan Afrika yang notabene Islam memberikan nuansa tersendiri dalam hubungan konflik antara dua ideology dan dua peradaban yang telah berlangsung sangat lama ini. Perasaan tertindas, teraniaya, terzholimi, dan ingin segera keluar dari kondisi yang jauh dari idealism nilai-nilai Islam ini mendominasi sebagian ummat Islam yang baru saja kehilangan kepemimpinan.

Kelahiran Harokah Islamiyah
Proses pencarian jati diri dan identifikasi diri terjadi, muncullah gerakan-gerakan Islam (Al-harokah Al-Islamiyah) yang ingin mengembalikan kehidupan beragama (Islam) kepada tempat yang semestinya (purifikasi). Al-Ikhwan Al-Muslimun (Mesir), Hizb At-Tahrir (Mesir), Jami’at Al Islamy (Pakistan) adalah sebagian yang berjuang mengembalikan nilai-niai Islam ke tempat sebagaimana mestinya. Ada persamaan mendasar yang mencirikan harokah-harokah Islam tersebut, jika dipandang sebagai suatu pelaku Islam radikal sebagaimana disebutkan Zada, yaitu : (a) konsep din wa daulah. Islam merupakan sistem kehidupan total, yang secara universal dapat diterapkan pada semua keadaan, waktu, dan tempat. Pemisahan antara din (agama) dan daulah(negara) adalah hal yang mustahil dapat diterima oleh kelompok radikal. Bagikelompok radikal, agama dan negara adalah dua hal yang tak terpisahkan dan hendaknya dipahami secara integral; (b) kembali ke Qur’an dan Hadist. Dalam hal ini, umat Islam diperintahkan untuk kembali pada praktek ajaran Nabi yang puritan dalam mencari keaslian ajaran dan pembaruan; (c) puritanisme dan keadilan sosial. Nilai-nilai dan adat-istiadat Barat ditolak sebagai sesuatu yang sekuler dan asing bagi Islam. Oleh karena itu, mereka menuntut agar media massa mampu memberikan dakwah secara puritan yang berkeadilan sosial. Namun, tuntutan yang demikian itu mungkin akan mengalami masalah besar, sebab pada sisi yang lain, kesadaran jender menuntut adanya pemaknaan ulang terhadap Al Qur’an; (d)kedaulatan syariat Islam; (e) jihad sebagaiinstrumen gerakan; dan (f) perlawanan terhadap Barat yang hegemonik dan intervensinya di Negara-negara Islam, seperti Libia, Bosnia, Palestina, Afganistan, dan Irak (Ahmed & Donnan, 1994) (Zada, K. Ideologi Gerakan Islam Radikal. Media Indonesia. 15 Agustus 2003)
Kelompok Harokah Islamiyah yang hampir seluruhnya dicap oleh para penulis Barat dan orientalis membawa gagasan yang radikal, pada gilirannya menyebar juga ke berbagai wilayah Islam, bahkan Eropa dan Amerika. Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia tidak luput dari gagasan harokah tersebut. Aliran Islam Transnasional, begitu sebagian orang menyebutnya, ditanggapi secara negatif oleh kelompok-kelompok yang telah lebih dulu eksis di Indonesia serta kelompok yang berhaluan liberalis. Sebagai tindak lanjut dari dari pandangan ini, kalangan liberalis menerbitkan satu buku berjudul Ilusi Negara Islam, Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia.

Purifikasi Islam dan Pendekatan Pemerintah
Dalam langkah-langkah purifikasi Islam di atas, Harokah Islamiyah melihat bahwa halangan terbesar untuk tujuan tersebut bangsa penjajah (Barat, Eropa dan Amerika) serta para pemimpin tiran yang sebagiannya adalah boneka-boneka bentukan para penjajah. Tipologi seperti ini yang mendasari kecurigaan-kecurigaan dalam pola hubungan antara ummat Islam dan Penguasa di banyak negara termasuk di Indonesia. Sayangnya, pendekatan yang di ambil oleh penguasa terhadap penganut Islam radikal ini cenderung represif. Alih-alih mencabut akar radikalisme, pendekatan ini tidak akan menghilangkan justeru akan menumbuhsuburkan ideologi radikal di manapun ia berada.<>